“Ayo cepetan ambil lagi airnya!” Kepala Desa
dengan sigap memberi komando pada warga. Beberapa memboyong ember yang menjadi
setengah penuh ulah tergesa mereka berlarian. Beberapa lagi mengulur selang
yang nyatanya tak membantu banyak karena perairan kami sedang buruk musim ini.
“Cepat
sebelum api bertambah besar!”
Api
berkobar semakin besar, membakar habis gubuk kecil di tepi desa itu. Tak pernah
ada yang menduga terjadi kebakaran di sana. Tempat itu selama ini sepi, hampir
tidak terjamah oleh penduduk. Bahkan, listrik desa pun tidak menjangkaunya. Hanya
ada seorang yang hidup di sana. Mengherankan mengapa sampai terjadi kebakaran
di sana. Apa mungkin penghuninya sendiri yang membakar gubuk kecil itu?
Semua
masih menyimpan pertanyaan ketika berusaha memadamkan apinya. Anyaman bambu tua
gubuk itu semakin membuat api cepat menjalar, membumihanguskannya. Sementara
warga berusaha memadamkan kebakaran, si penghuni entah ada di mana. Semua orang
panik mencarinya. Keadaan menegang ketika didapati si empunya gubuk terbujur
kaku memeluk sebuah peti besi kecil dengan pecahan kaca menembus dadanya.
Sungguh sebuah kejadian yang sangat mengerikan bagi semua.
***
Remang
cahaya bulan menjadi satu-satunya sumber cahaya malam itu. Semua masih terlihat
gelap. Tampak arakan awan menyelimuti wajah bulan, membuat suasana berkabut
kian mencekam. Nyanyian merdu jangkrik menyelimuti gelapnya malam kala itu.
Semua serasa sempurna kali ini.
Dipandangnya
dengan seksama sosok yang sedari tadi terlihat di hadapannya. Lekat ditatapnya
sosok itu. Masih seperti dulu, menyedihkan. Arogansinya mendominasi kala itu.
Membuat suasana malam yang gelap kian mencekam. Tertutupnya cahaya bulan
membuat ruangan itu kian fakir cahaya.
Ia
sudah sangat lelah dengan semua keadaan yang ada. Bertahun-tahun mereka hidup
dalam kebersamaan yang harmonis. Lambat laun disadarinya bahwa semua bukanlah
benar. Ingin rasanya ia segera mengkhiri semua omong kosong indah yang
dibangunnya. Bukan karena tak ada lagi cinta, karena segalanya berbenturan dengan
realita.
Perlahan
ditulisnya sepucuk surat, surat yang mewakili segala isi hatinya. Tidak lagi ia
menutupi segala yang terjadi, semua dijelaskannya dengan gamblang. Kata demi
kata diurai untuk menggambarkan perasaan hatinya. Gelisah mulai berkecamuk, peluhnya
mulai membasahi dahi dan pipinya. Membasahi jeretan jambang yang dibiarkan
sedikit memanjang. Malam ini sungguh malam yang berat baginya.
“Apa
yang kamu tulis?”
“Bukan
apa-apa. Cuma curahan perasaanku saja” senyum simpul mengembang di bibirnya.
“Oh
ya? Perasaan apa?”
“Perasaanku
padamu. Betapa aku cinta padamu”
“Omong
kosong! Aku tidak percaya semua ucapanmu”
Perlahan
dicengkeramnya sosok di hadapannya. Didekatkan wajahnya pada sosok itu.
Pelan-pelan mulai terdengar bisikan tersamar. Lolong anjing penjaga milik
kepala desa kian menyamarkan suara bisikannya.
“Kamu
masih seperti yang dulu”
“Oh
ya? Memangnya seperti apa aku?”
“Seperti
yang aku kenal. Seperti yang aku impikan”
“Memangnya
kamu kenal aku? Sejauh apa kamu mengenalku?”
“Tentu
saja aku mengenalmu. Setiap hari pun aku bersamamu”
“Tapi
kamu sering melupakanku. Kamu sering tidak mengacuhkanku”
“Aku
tidak pernah bermaksud seperti itu. Aku bahkan selalu memperhatikanmu. Memikirkanmu
di setiap kesempatan”
“Aku
tidak percaya! Nyatanya kamu selalu menomorduakan aku. Kamu selalu melupakanku
ketika kamu sibuk dengan pekerjaanmu”
“Aku
tidak pernah bermaksud begitu, sungguh! Kamu pasti mengerti dengan semua yang
aku lakukan selama ini”
“Iya
aku cukup mengerti. Selama ini pun aku yang selalu mengerti”
“Aku
hanya tidak ingin kamu pergi jauh dariku. Aku tidak ingin kehilangan kamu”
“Tidak
perlu khawatir. Aku tidak pernah meninggalkanmu, seperti yang selalu kamu
bilang padaku”
“Aku
mengerti perasaanmu. Hanya saja waktunya belum tepat. Belum saatnya”
“Inilah
aku. Selalu menunggu waktu. Entah sampai kapan waktu itu akan datang”
“Bersabarlah.
Waktu itu pasti datang”
Ia
hanya tertunduk lesu ketika percakapan itu berakhir. Dipandanginya sosok itu
penuh kasih. Ingin sekali Ia menjamah, namun diurungkannya niatan itu.
Tanpa
disadarinya pagi menjelang. Kokok ayam mulai bersautan, suara jangkrik mulai
mereda. Dibukanya jendela perlahan. Udara pagi mulai menjalar, menusuk hingga
ke tulang. Perlahan direnggangkan otot-otot yang terasa kaku. Semua terasa
begitu cepat berlalu baginya. Lelah dan kantuk pun mulai bergelayut di
wajahnya. Hanya saja, segala aktifitas menanti untuk segera dilakukan.
Ia
teringat pada janjinya hari ini. Siang ini Ia sudah berniat untuk membersihkan
Surau. Sudah terlalu lama Surau di ujung desa menjadi tak berguna. Sudah
terlalu lama Surau itu berfungsi tak selayaknya bagi warga desa. Sungguh ironis
memang, tempat yang seharusnya ramai dikunjungi lima kali dalam sehari, kini berubah
menjadi sarang kelelawar yang menakutkan.
Ia
segera bersiap walaupun masih terlalu dini. Dijerangnya air dan disiapkannya
segala keperluan untuk pekerjaannya siang ini. Dipilahnya satu persatu
alat-alat yang ia butuhkan. Disisihkannya
menuju halaman kecil samping rumah. Usai bersiap, air yang dijerangnya
matang. Diseduhnya secangkir teh menggunakan teko tanah merah satu-satunya.
Semua terasa begitu sempurna baginya. Segala perabot dari tanah merah menemani
jamuan paginya. Mengerjakan segalanya seorang diri tidak lantas membuatnya
kesepian. Semua seakan mengalir sebagai rutinitas baginya.
***
Matahari
sudah mulai condong ke barat. Sudah terlalu lama ia tertidur. Membersihkan Surau
membuatnya lelah dan lupa waktu. Bukan pekerjaan yang mudah memang, tapi semua
sudah menjadi niatan baginya. Segenap tenaganya seakan sudah terkuras pagi itu.
Ia sampai lupa makan. Segera dikemasinya barang dan ditinggalkannya Surau itu.
Belum
sempat beranjak, ia dikejutkan seekor tupai yang tiba-tiba melintas di atasnya.
Hampir saja tupai itu jatuh mengenai kepalanya. Selesai mengumpat, ditutupnya
pintu surau dan dinyalakannya lampu minyak yang menempel di pagar.
Ditinggalkannya lampu itu menyala begitu saja di depan Surau. Ia hanya berharap
semoga akan ada orang yang berkunjung ke Surau tersebut nantinya.
Dengan
gontai ia berjalan menuju rumahnya yang berada di tepi desa. Tak jauh memang,
tapi rasa lapar membuat langkahnya sedikit terasa berat. Belum lagi kantuk yang
kian menjadi setelah semalaman ia terjaga.
“Akhirnya
aku pulang”
“Lama
sekali. Ngapain aja kamu seharian ini?”
“Banyak.
Surau di seberang kotor, aku bersihkan. Ya setidaknya sekarang, ia lebih layak
didatangi orang, hingga tak hanya kelelawar
saja yang doyan mampir dan singgah di sana”
“Aih...
baik sekali. Berapa kamu diupah?”
“Aku
tidak butuh upah. Risih rasanya melihat Surau jadi sarang kelelawar”
“Oh.
Aku pikir karena diupah”
“Aku
tidak sepicik itu”
“Lalu
siapa yang akan datang ke sana?”
“Siapapun
boleh datang. Kamu juga boleh kalau mau”
“Untuk
apa aku datang? Apa perlu aku datang ke sana?”
“Kalau
kamu mau, sesekali kamu boleh berkunjung”
“Di
sana bukan tempatku”
“Bagaimana
kamu tahu di sana bukan tempatmu? Kamu bahkan belum pernah ke sana”
“Aku
cukup tahu diri. Berada di sisimu saja sudah cukup”
“Malam
belum larut, kenapa tiba-tiba kamu datang”
“Bukan
apa-apa, hanya ingin bertegur sapa”
“Oh.
Sebegitu rindukah kamu padaku?”
“Jangan
besar kepala. Aku Cuma mau melihat keadaanmu”
“Ya
beginilah aku”
“Mandilah
sana. Bersihkan badanmu”
“Segera
setelah ku bereskan semua benda ini”
“Cepatlah,
malam segera datang”
Dengan
sigap segera dibersihkannya semua perkakas yang dibawanya. Diletakkan kembali
perkakas tersebut ke gudang belakang rumahnya. Sebentar lagi malam datang,
segera ia bersihkan dirinya sebelum menyiapkan makan malam. Semua terjadi
begitu cepat, tanpa terasa.
Sinar
matahari sudah sepenuhnya habis. Gelap malam mulai menjalar merayapi desa.
Dengan sigap dinyalakannya lampu minyak yang tergantung di ruang tengah gubuk
miliknya. Tak lama setelahnya, makanan terhidang di atas meja makan. Semua
dimasak sendiri dan masih dalam keadaan hangat. Segera dikudapinya semua yang
tersedia.
***
Malam
kian larut. Tiba-tiba ia terbangun dari tidur pulasnya. Ditatapnya kembali
sosok yang sama seperti kemarin malam. Masih dengan keadaan yang sama, rupa
yang sama.
“Kamu
masih di sini?”
“Aku
sedang mengamati kamu tidur”
“Untuk
apa? Aku masih tetap sama saja”
“Untuk
memastikan kamu baik-baik saja. Capek sekali kelihatannya”
“Iya.
Capek sekali hari ini. Mungkin karena membersihkan surau”
“Sinar
bulan begitu terang ya?”
“Iya.
Seterang wajah cantikmu”
“Jangan
membual. Aku tidak secantik yang kamu kira”
“Kamu
cantik. Lebih cantik dari perempuan manapun yang aku kenal”
“Kalau
aku secantik itu, kenapa kamu masih melirik anak kepala desa?”
“Anak
kepala desa? Semua tidak seperti yang kamu pikirkan. Aku Cuma kagum padanya”
“Ah
masa? Lalu kenapa kamu selalu melirik dia setiap kali lewat depan rumah kepala
desa?”
“Aku
tidak pernah melirik dia. Jangan berprasangka”
“Aku
tidak berprasangka. Aku melihatnya dengan jelas! Kamu sudah mulai berpaling
dariku. Kamu berkhianat!”
“Jaga
ucapanmu! Sejak kapan aku berkhianat padamu?”
“Sudah
jangan mangkir! Aku melihat semuanya dengan jelas! Kamu tidak perlu
menutupinya”
“Aku
tidak seperti yang kamu tuduhkan! Hati-hati kalau bicara!”
Kekesalannya
memuncak. Dipukulnya cermin dihadapannya hingga pecah berkeping-keping.
Diambilnya sebuah pecahan besar dengan sekali genggam. Darah segar mengucur
dari sela-sela jarinya.
“Mau
apa kamu?”
“Aku
sudah capek dengan semua ini. Lebih baik kita akhiri saja ini sekarang!”
“Jangan
macam-macam denganku!”
“Bisa
apa kamu kalau aku macam-macam? Semua kendali ada di tanganku!”
“Jangan
gila kamu! Semua bisa kita selesaikan baik-baik!”
“Ini
penyelesaian paling baik. Kita akhiri saja semuanya sekarang!”
Dengan
sigap ditusukkannya pecahan kaca dalam genggamannya tepat di ulu hati. Darah
berceceran di lantai. Ia mengerang kesakitan tapi tak seorang pun tahu ia
sekarat. Keterasingannya membuat warga desa tidak pernah mengindahkannya.
Terlebih semua orang berpikir bahwa dia memang aneh dan gila.
Dalam
keadaan sekarat diraihnya kotak besi yang ia letakkan di atas meja. Ditariknya
kotak itu mendekat padanya menyebabkan lampu minyak di meja ikut terseret
bersamanya. Api mulai menyambar minyak yang berceceran. Segalanya membara
seketika, membubungkan kepulan asap besar memancing kecurigaan para peronda
desa.
***
Warung
bu Mirah terlihat ramai sore ini. Mungkin karena malam minggu. Banyak sekali
warga desa berbagai usia berkumpul di warung tersebut. Terlihat gerombolan
pemuda bergosip di warung.
“Gila
ya? Siapa sangka Nathan harus mati ngenes kayak gitu?”
“Iya
juga sih. Gak nyangka aja dia bisa senekat itu”
“Sayang
banget, padahal anak itu baik banget. Dari kecil aja penurut dan gak pernah
bikin masalah”
“Tapi
kita kan juga tahu tuh anak dari kecil emang gak beres. Suka ngayal yang
aneh-aneh”
“Iya
juga sih. Padahal anak orang kaya, eh malah milih tinggal di gubuk rongsok.
Udah gitu sendirian pula”
“Eh
kalian tahu gak, denger-denger dia mati juga gara-gara dia sendiri”
“Maksudnye
ape tong?” Seorang bapak tiba-tiba ikut nimbrung dalam obrolan.
“Gue
denger-denger sih katanya polisi nemu tulisan aneh gitu di gubuknya waktu dia
mati” Seorang bapak yang lain tiba-tiba ikut masuk dalam pembicaraan.
“Tulisan
aneh? Aneh gimana emangnya?”
“Gue
juga gak ngerti. Intinya sih surat wasiat”
“Wasiat?
Emang apaan yang mau diwasiatin? Banda aja kagak punya”
“Ya
mana gue tahu. Kali aja dia nyimpen apa gitu warisan dia”
“Ah
tuh anak emang dah. Mati aja masih bikin gosip”
“Eh
padahal sayang banget dia mati sia-sia gitu. Masih muda lagi!”
Obrolan
sore itu kian memanas ketika akhirnya seorang ibu-ibu ikut nimbrung. Gosip yang
disebarkan kian santer dan semakin buram. Bahkan mungkin semakin jauh dari apa
yang sebenarnya terjadi.
“Kalau
dari yang aye denger, katanya tuh anak punya ilmu sesat”
“Hah
ilmu sesat? Kok bisa?”
“Liat
aja, tiap hari gaweannya ngomong sendiri kan? Padahal sebenernya dia lagi
ngomong sama jin peliharaannya”
Seisi
ruangan bergidik mendengar pernyataan ibu-ibu tersebut. Semua seolah tidak
percaya Nathan berbuat demikian. Mereka ingin sekali tidak percaya, tapi
mantapnya ibu itu bercerita membuat mau tak mau harus percaya.
“Iye
juga sih. Tapi kalau dia punya jin masa iya dia ke surau segala? Bukannya jin
takut ya sama tempat begituan?”
“Bisa
jadi! Jin nya kan gak selalu dibawa kemana-mana”
“Tapi
serem ah. Jangan-jangan dia bakal jadi makhluk jadi-jadian habis ini?”
“Hus!
Amit-amit jabang bayi! Jangan ngaco kalo ngomong!”
“Ya
kan barangkali aja”
“Tapi
iye juga sih. Au ah! Mending kita doain aja dah dia. Kasian orang udah mati
digunjing”
“Iya
dah. Entar salah-salah malah dimimpiin. Hiiiiii...”
Rombongan
penggosip itupun akhirnya bubar. Semua seakan tidak mau tahu lagi dengan apa
yang terjadi atas Nathan. Mereka seakan lebih memilih untuk menganggap bahwa
kejadian itu tidak pernah ada. Bagaimanapun Nathan adalah sosok yang pernah
hidup di antara mereka. Meskipun aneh, semasa hidupnya Nathan tidak pernah
membuat masalah dengan siapapun. Ia bahkan dikenal sebagai orang yang baik dan
santun. Hal itulah yang membuat penduduk desa lebih memilih untuk menyimpan
kejadian kematian Nathan sebagai cerita yang pernah terjadi diantara mereka,
tidak lebih.
***
Gendhis, kamu pasti tahu aku
sangat menyayangimu. Kebahagiaanmu adalah hidupku. Di setiap detak jantungku
berdetak pula namamu. Di setiap tarikan nafasku maka bersemayamlah kamu di sana.
Tak pernah sedetikpun aku meninggalkanmu. Tak pernah sekedipanpun aku
melupakanmu.
Gendhis, aku tahu kita telah
menyatu. Di mana ada aku di sanalah ada kamu. Kita sungguh begitu menyatu.
Bahkan, semua penghalang berhasil kita singkirkan. Akan tetapi, ada satu
rintangan besar yang tidak mungkin kita kalahkan, DIRI KITA SENDIRI.
Kapanpun kita bersama, kita tidak
akan pernah bisa bersama. Kita memang menyatu, tapi kita berbeda. Kita bahkan
tidak ditakdirkan untuk dapat menyentuh satu sama lain. Diri kita sendirilah
yang akhirnya menjadi batasan bagi kita sendiri. Sungguh ironis memang, tapi
itulah kenyataan yang kita jalani.
Sekian lama kita bersama, aku
bahagia kamu ada bersamaku. Aku bahagia kamu selalu menemani kesendirianku.
Tiap kali malam membuatku terjaga, kamu selalu ada setia di hadapanku. Kamu selalu
menjadi hal pertama yang aku cari dan aku temui. Kamu selalu menjadi penawar
dari setiap pedih atas kesendirianku. Kamu selalu menjadi kenyataan dalam
setiap angan-anganku.
Gendhis, terlalu lama kita
melakoni semua ini. Lakon hidup yang tidak semestinya terjadi. Cerita semu yang
seharusnya tidak pernah ada. Kisah hampa yang tidak akan pernah kita mengerti
mengapa ini semua pernah terjadi.
Aku tidak pernah menyesal telah
menghadirkan sosokmu di hidupku. Sosokmu lah yang selalu aku idamkan dan aku nantikan
setiap waktu, sedari dulu. Sosokmulah yang selalu menjadi penghibur kala aku
terjebak dalam kesendirianku. Sosokmu pula yang telah menjebakku dalam
kehampaan semu yang tanpa ujung.
Maafkan aku Gendhis. Aku sudah
tidak kuat menyimpan ini semua sendiri. Aku ingin mengakhiri apapun yang pernah
terjadi. Keberadaanmu yang sangat aku cintai begitu menyiksaku. Keberadaanmu
yang tidak pernah dapat ku rengkuh begitu membunuhku perlahan. Sosokmu terlalu
nyata bagiku, terlalu menyiksa.
Gendhis, mungkin inilah jalan
terbaik yang akan menyatukan kita. Semakin lama kita hidup, semakin lama kita
tersiksa. Lebih baik, kita akhiri saja semua sekarang. Maafkan, aku harus
mengakhiri ini semua. Aku harus mengakhiri hidup kita. Kelak ketika kau temukan
aku dan kau baca ini semua, kau akan mengerti betapa aku sangat mencintaimu
meskipun kau hanya bayang-bayang. Selamat tinggal, Gendhis. Sampai jumpa di
kehidupan yang kekal.
Penuh kasih,
Nathan