Rabu, 04 Juni 2014

Padamu Bayang



“Ayo cepetan ambil lagi airnya!” Kepala Desa dengan sigap memberi komando pada warga. Beberapa memboyong ember yang menjadi setengah penuh ulah tergesa mereka berlarian. Beberapa lagi mengulur selang yang nyatanya tak membantu banyak karena perairan kami sedang buruk musim ini.
“Cepat sebelum api bertambah besar!”
Api berkobar semakin besar, membakar habis gubuk kecil di tepi desa itu. Tak pernah ada yang menduga terjadi kebakaran di sana. Tempat itu selama ini sepi, hampir tidak terjamah oleh penduduk. Bahkan, listrik desa pun tidak menjangkaunya. Hanya ada seorang yang hidup di sana. Mengherankan mengapa sampai terjadi kebakaran di sana. Apa mungkin penghuninya sendiri yang membakar gubuk kecil itu?
Semua masih menyimpan pertanyaan ketika berusaha memadamkan apinya. Anyaman bambu tua gubuk itu semakin membuat api cepat menjalar, membumihanguskannya. Sementara warga berusaha memadamkan kebakaran, si penghuni entah ada di mana. Semua orang panik mencarinya. Keadaan menegang ketika didapati si empunya gubuk terbujur kaku memeluk sebuah peti besi kecil dengan pecahan kaca menembus dadanya. Sungguh sebuah kejadian yang sangat mengerikan bagi semua.
***
Remang cahaya bulan menjadi satu-satunya sumber cahaya malam itu. Semua masih terlihat gelap. Tampak arakan awan menyelimuti wajah bulan, membuat suasana berkabut kian mencekam. Nyanyian merdu jangkrik menyelimuti gelapnya malam kala itu. Semua serasa sempurna kali ini.
Dipandangnya dengan seksama sosok yang sedari tadi terlihat di hadapannya. Lekat ditatapnya sosok itu. Masih seperti dulu, menyedihkan. Arogansinya mendominasi kala itu. Membuat suasana malam yang gelap kian mencekam. Tertutupnya cahaya bulan membuat ruangan itu kian fakir cahaya.
Ia sudah sangat lelah dengan semua keadaan yang ada. Bertahun-tahun mereka hidup dalam kebersamaan yang harmonis. Lambat laun disadarinya bahwa semua bukanlah benar. Ingin rasanya ia segera mengkhiri semua omong kosong indah yang dibangunnya. Bukan karena tak ada lagi cinta, karena segalanya berbenturan dengan realita.
Perlahan ditulisnya sepucuk surat, surat yang mewakili segala isi hatinya. Tidak lagi ia menutupi segala yang terjadi, semua dijelaskannya dengan gamblang. Kata demi kata diurai untuk menggambarkan perasaan hatinya. Gelisah mulai berkecamuk, peluhnya mulai membasahi dahi dan pipinya. Membasahi jeretan jambang yang dibiarkan sedikit memanjang. Malam ini sungguh malam yang berat baginya.
“Apa yang kamu tulis?”
“Bukan apa-apa. Cuma curahan perasaanku saja” senyum simpul mengembang di bibirnya.
“Oh ya? Perasaan apa?”
“Perasaanku padamu. Betapa aku cinta padamu”
“Omong kosong! Aku tidak percaya semua ucapanmu”
Perlahan dicengkeramnya sosok di hadapannya. Didekatkan wajahnya pada sosok itu. Pelan-pelan mulai terdengar bisikan tersamar. Lolong anjing penjaga milik kepala desa kian menyamarkan suara bisikannya.
“Kamu masih seperti yang dulu”
“Oh ya? Memangnya seperti apa aku?”
“Seperti yang aku kenal. Seperti yang aku impikan”
“Memangnya kamu kenal aku? Sejauh apa kamu mengenalku?”
“Tentu saja aku mengenalmu. Setiap hari pun aku bersamamu”
“Tapi kamu sering melupakanku. Kamu sering tidak mengacuhkanku”
“Aku tidak pernah bermaksud seperti itu. Aku bahkan selalu memperhatikanmu. Memikirkanmu di setiap kesempatan”
“Aku tidak percaya! Nyatanya kamu selalu menomorduakan aku. Kamu selalu melupakanku ketika kamu sibuk dengan pekerjaanmu”
“Aku tidak pernah bermaksud begitu, sungguh! Kamu pasti mengerti dengan semua yang aku lakukan selama ini”
“Iya aku cukup mengerti. Selama ini pun aku yang selalu mengerti”
“Aku hanya tidak ingin kamu pergi jauh dariku. Aku tidak ingin kehilangan kamu”
“Tidak perlu khawatir. Aku tidak pernah meninggalkanmu, seperti yang selalu kamu bilang padaku”
“Aku mengerti perasaanmu. Hanya saja waktunya belum tepat. Belum saatnya”
“Inilah aku. Selalu menunggu waktu. Entah sampai kapan waktu itu akan datang”
“Bersabarlah. Waktu itu pasti datang”
Ia hanya tertunduk lesu ketika percakapan itu berakhir. Dipandanginya sosok itu penuh kasih. Ingin sekali Ia menjamah, namun diurungkannya niatan itu.
Tanpa disadarinya pagi menjelang. Kokok ayam mulai bersautan, suara jangkrik mulai mereda. Dibukanya jendela perlahan. Udara pagi mulai menjalar, menusuk hingga ke tulang. Perlahan direnggangkan otot-otot yang terasa kaku. Semua terasa begitu cepat berlalu baginya. Lelah dan kantuk pun mulai bergelayut di wajahnya. Hanya saja, segala aktifitas menanti untuk segera dilakukan.
Ia teringat pada janjinya hari ini. Siang ini Ia sudah berniat untuk membersihkan Surau. Sudah terlalu lama Surau di ujung desa menjadi tak berguna. Sudah terlalu lama Surau itu berfungsi tak selayaknya bagi warga desa. Sungguh ironis memang, tempat yang seharusnya ramai dikunjungi lima kali dalam sehari, kini berubah menjadi sarang kelelawar yang menakutkan.
Ia segera bersiap walaupun masih terlalu dini. Dijerangnya air dan disiapkannya segala keperluan untuk pekerjaannya siang ini. Dipilahnya satu persatu alat-alat yang ia butuhkan. Disisihkannya  menuju halaman kecil samping rumah. Usai bersiap, air yang dijerangnya matang. Diseduhnya secangkir teh menggunakan teko tanah merah satu-satunya. Semua terasa begitu sempurna baginya. Segala perabot dari tanah merah menemani jamuan paginya. Mengerjakan segalanya seorang diri tidak lantas membuatnya kesepian. Semua seakan mengalir sebagai rutinitas baginya.
***
Matahari sudah mulai condong ke barat. Sudah terlalu lama ia tertidur. Membersihkan Surau membuatnya lelah dan lupa waktu. Bukan pekerjaan yang mudah memang, tapi semua sudah menjadi niatan baginya. Segenap tenaganya seakan sudah terkuras pagi itu. Ia sampai lupa makan. Segera dikemasinya barang dan ditinggalkannya Surau itu.
Belum sempat beranjak, ia dikejutkan seekor tupai yang tiba-tiba melintas di atasnya. Hampir saja tupai itu jatuh mengenai kepalanya. Selesai mengumpat, ditutupnya pintu surau dan dinyalakannya lampu minyak yang menempel di pagar. Ditinggalkannya lampu itu menyala begitu saja di depan Surau. Ia hanya berharap semoga akan ada orang yang berkunjung ke Surau tersebut nantinya.
Dengan gontai ia berjalan menuju rumahnya yang berada di tepi desa. Tak jauh memang, tapi rasa lapar membuat langkahnya sedikit terasa berat. Belum lagi kantuk yang kian menjadi setelah semalaman ia terjaga.
“Akhirnya aku pulang”
“Lama sekali. Ngapain aja kamu seharian ini?”
“Banyak. Surau di seberang kotor, aku bersihkan. Ya setidaknya sekarang, ia lebih layak didatangi orang, hingga tak hanya  kelelawar saja yang doyan mampir dan singgah di sana”
“Aih... baik sekali. Berapa kamu diupah?”
“Aku tidak butuh upah. Risih rasanya melihat Surau jadi sarang kelelawar”
“Oh. Aku pikir karena diupah”
“Aku tidak sepicik itu”
“Lalu siapa yang akan datang ke sana?”
“Siapapun boleh datang. Kamu juga boleh kalau mau”
“Untuk apa aku datang? Apa perlu aku datang ke sana?”
“Kalau kamu mau, sesekali kamu boleh berkunjung”
“Di sana bukan tempatku”
“Bagaimana kamu tahu di sana bukan tempatmu? Kamu bahkan belum pernah ke sana”
“Aku cukup tahu diri. Berada di sisimu saja sudah cukup”
“Malam belum larut, kenapa tiba-tiba kamu datang”
“Bukan apa-apa, hanya ingin bertegur sapa”
“Oh. Sebegitu rindukah kamu padaku?”
“Jangan besar kepala. Aku Cuma mau melihat keadaanmu”
“Ya beginilah aku”
“Mandilah sana. Bersihkan badanmu”
“Segera setelah ku bereskan semua benda ini”
“Cepatlah, malam segera datang”
Dengan sigap segera dibersihkannya semua perkakas yang dibawanya. Diletakkan kembali perkakas tersebut ke gudang belakang rumahnya. Sebentar lagi malam datang, segera ia bersihkan dirinya sebelum menyiapkan makan malam. Semua terjadi begitu cepat, tanpa terasa.
Sinar matahari sudah sepenuhnya habis. Gelap malam mulai menjalar merayapi desa. Dengan sigap dinyalakannya lampu minyak yang tergantung di ruang tengah gubuk miliknya. Tak lama setelahnya, makanan terhidang di atas meja makan. Semua dimasak sendiri dan masih dalam keadaan hangat. Segera dikudapinya semua yang tersedia.
***
Malam kian larut. Tiba-tiba ia terbangun dari tidur pulasnya. Ditatapnya kembali sosok yang sama seperti kemarin malam. Masih dengan keadaan yang sama, rupa yang sama.
“Kamu masih di sini?”
“Aku sedang mengamati kamu tidur”
“Untuk apa? Aku masih tetap sama saja”
“Untuk memastikan kamu baik-baik saja. Capek sekali kelihatannya”
“Iya. Capek sekali hari ini. Mungkin karena membersihkan surau”
“Sinar bulan begitu terang ya?”
“Iya. Seterang wajah cantikmu”
“Jangan membual. Aku tidak secantik yang kamu kira”
“Kamu cantik. Lebih cantik dari perempuan manapun yang aku kenal”
“Kalau aku secantik itu, kenapa kamu masih melirik anak kepala desa?”
“Anak kepala desa? Semua tidak seperti yang kamu pikirkan. Aku Cuma kagum padanya”
“Ah masa? Lalu kenapa kamu selalu melirik dia setiap kali lewat depan rumah kepala desa?”
“Aku tidak pernah melirik dia. Jangan berprasangka”
“Aku tidak berprasangka. Aku melihatnya dengan jelas! Kamu sudah mulai berpaling dariku. Kamu berkhianat!”
“Jaga ucapanmu! Sejak kapan aku berkhianat padamu?”
“Sudah jangan mangkir! Aku melihat semuanya dengan jelas! Kamu tidak perlu menutupinya”
“Aku tidak seperti yang kamu tuduhkan! Hati-hati kalau bicara!”
Kekesalannya memuncak. Dipukulnya cermin dihadapannya hingga pecah berkeping-keping. Diambilnya sebuah pecahan besar dengan sekali genggam. Darah segar mengucur dari sela-sela jarinya.
“Mau apa kamu?”
“Aku sudah capek dengan semua ini. Lebih baik kita akhiri saja ini sekarang!”
“Jangan macam-macam denganku!”
“Bisa apa kamu kalau aku macam-macam? Semua kendali ada di tanganku!”
“Jangan gila kamu! Semua bisa kita selesaikan baik-baik!”
“Ini penyelesaian paling baik. Kita akhiri saja semuanya sekarang!”
Dengan sigap ditusukkannya pecahan kaca dalam genggamannya tepat di ulu hati. Darah berceceran di lantai. Ia mengerang kesakitan tapi tak seorang pun tahu ia sekarat. Keterasingannya membuat warga desa tidak pernah mengindahkannya. Terlebih semua orang berpikir bahwa dia memang aneh dan gila.
Dalam keadaan sekarat diraihnya kotak besi yang ia letakkan di atas meja. Ditariknya kotak itu mendekat padanya menyebabkan lampu minyak di meja ikut terseret bersamanya. Api mulai menyambar minyak yang berceceran. Segalanya membara seketika, membubungkan kepulan asap besar memancing kecurigaan para peronda desa.
***
Warung bu Mirah terlihat ramai sore ini. Mungkin karena malam minggu. Banyak sekali warga desa berbagai usia berkumpul di warung tersebut. Terlihat gerombolan pemuda bergosip di warung.
“Gila ya? Siapa sangka Nathan harus mati ngenes kayak gitu?”
“Iya juga sih. Gak nyangka aja dia bisa senekat itu”
“Sayang banget, padahal anak itu baik banget. Dari kecil aja penurut dan gak pernah bikin masalah”
“Tapi kita kan juga tahu tuh anak dari kecil emang gak beres. Suka ngayal yang aneh-aneh”
“Iya juga sih. Padahal anak orang kaya, eh malah milih tinggal di gubuk rongsok. Udah gitu sendirian pula”
“Eh kalian tahu gak, denger-denger dia mati juga gara-gara dia sendiri”
“Maksudnye ape tong?” Seorang bapak tiba-tiba ikut nimbrung dalam obrolan.
“Gue denger-denger sih katanya polisi nemu tulisan aneh gitu di gubuknya waktu dia mati” Seorang bapak yang lain tiba-tiba ikut masuk dalam pembicaraan.
“Tulisan aneh? Aneh gimana emangnya?”
“Gue juga gak ngerti. Intinya sih surat wasiat”
“Wasiat? Emang apaan yang mau diwasiatin? Banda aja kagak punya”
“Ya mana gue tahu. Kali aja dia nyimpen apa gitu warisan dia”
“Ah tuh anak emang dah. Mati aja masih bikin gosip”
“Eh padahal sayang banget dia mati sia-sia gitu. Masih muda lagi!”
Obrolan sore itu kian memanas ketika akhirnya seorang ibu-ibu ikut nimbrung. Gosip yang disebarkan kian santer dan semakin buram. Bahkan mungkin semakin jauh dari apa yang sebenarnya terjadi.
“Kalau dari yang aye denger, katanya tuh anak punya ilmu sesat”
“Hah ilmu sesat? Kok bisa?”
“Liat aja, tiap hari gaweannya ngomong sendiri kan? Padahal sebenernya dia lagi ngomong sama jin peliharaannya”
Seisi ruangan bergidik mendengar pernyataan ibu-ibu tersebut. Semua seolah tidak percaya Nathan berbuat demikian. Mereka ingin sekali tidak percaya, tapi mantapnya ibu itu bercerita membuat mau tak mau harus percaya.
“Iye juga sih. Tapi kalau dia punya jin masa iya dia ke surau segala? Bukannya jin takut ya sama tempat begituan?”
“Bisa jadi! Jin nya kan gak selalu dibawa kemana-mana”
“Tapi serem ah. Jangan-jangan dia bakal jadi makhluk jadi-jadian habis ini?”
“Hus! Amit-amit jabang bayi! Jangan ngaco kalo ngomong!”
“Ya kan barangkali aja”
“Tapi iye juga sih. Au ah! Mending kita doain aja dah dia. Kasian orang udah mati digunjing”
“Iya dah. Entar salah-salah malah dimimpiin. Hiiiiii...”
Rombongan penggosip itupun akhirnya bubar. Semua seakan tidak mau tahu lagi dengan apa yang terjadi atas Nathan. Mereka seakan lebih memilih untuk menganggap bahwa kejadian itu tidak pernah ada. Bagaimanapun Nathan adalah sosok yang pernah hidup di antara mereka. Meskipun aneh, semasa hidupnya Nathan tidak pernah membuat masalah dengan siapapun. Ia bahkan dikenal sebagai orang yang baik dan santun. Hal itulah yang membuat penduduk desa lebih memilih untuk menyimpan kejadian kematian Nathan sebagai cerita yang pernah terjadi diantara mereka, tidak lebih.
***
Gendhis, kamu pasti tahu aku sangat menyayangimu. Kebahagiaanmu adalah hidupku. Di setiap detak jantungku berdetak pula namamu. Di setiap tarikan nafasku maka bersemayamlah kamu di sana. Tak pernah sedetikpun aku meninggalkanmu. Tak pernah sekedipanpun aku melupakanmu.
Gendhis, aku tahu kita telah menyatu. Di mana ada aku di sanalah ada kamu. Kita sungguh begitu menyatu. Bahkan, semua penghalang berhasil kita singkirkan. Akan tetapi, ada satu rintangan besar yang tidak mungkin kita kalahkan, DIRI KITA SENDIRI.
Kapanpun kita bersama, kita tidak akan pernah bisa bersama. Kita memang menyatu, tapi kita berbeda. Kita bahkan tidak ditakdirkan untuk dapat menyentuh satu sama lain. Diri kita sendirilah yang akhirnya menjadi batasan bagi kita sendiri. Sungguh ironis memang, tapi itulah kenyataan yang kita jalani.
Sekian lama kita bersama, aku bahagia kamu ada bersamaku. Aku bahagia kamu selalu menemani kesendirianku. Tiap kali malam membuatku terjaga, kamu selalu ada setia di hadapanku. Kamu selalu menjadi hal pertama yang aku cari dan aku temui. Kamu selalu menjadi penawar dari setiap pedih atas kesendirianku. Kamu selalu menjadi kenyataan dalam setiap angan-anganku.
Gendhis, terlalu lama kita melakoni semua ini. Lakon hidup yang tidak semestinya terjadi. Cerita semu yang seharusnya tidak pernah ada. Kisah hampa yang tidak akan pernah kita mengerti mengapa ini semua pernah terjadi.
Aku tidak pernah menyesal telah menghadirkan sosokmu di hidupku. Sosokmu lah yang selalu aku idamkan dan aku nantikan setiap waktu, sedari dulu. Sosokmulah yang selalu menjadi penghibur kala aku terjebak dalam kesendirianku. Sosokmu pula yang telah menjebakku dalam kehampaan semu yang tanpa ujung.
Maafkan aku Gendhis. Aku sudah tidak kuat menyimpan ini semua sendiri. Aku ingin mengakhiri apapun yang pernah terjadi. Keberadaanmu yang sangat aku cintai begitu menyiksaku. Keberadaanmu yang tidak pernah dapat ku rengkuh begitu membunuhku perlahan. Sosokmu terlalu nyata bagiku, terlalu menyiksa.
Gendhis, mungkin inilah jalan terbaik yang akan menyatukan kita. Semakin lama kita hidup, semakin lama kita tersiksa. Lebih baik, kita akhiri saja semua sekarang. Maafkan, aku harus mengakhiri ini semua. Aku harus mengakhiri hidup kita. Kelak ketika kau temukan aku dan kau baca ini semua, kau akan mengerti betapa aku sangat mencintaimu meskipun kau hanya bayang-bayang. Selamat tinggal, Gendhis. Sampai jumpa di kehidupan yang kekal.
           
            Penuh kasih,
            Nathan

Selasa, 04 Februari 2014

Antara Abang dan Akang

“Makasih banyak ya kang udah dianter pulang.”
“Sama-sama. Nggak baik gadis cantik pulang malem sendirian.”
“Akang mau mampir dulu?”
“Oh, makasih. Langsung pulang aja ya. Assalamualaikum.”
Tanpa banyak basa-basi, aku langsung ngeloyor pulang. Buru-buru kupalingkan badan dan pergi menjauh agar Annisa tidak memergokiku senyum bahagiaku karena sudah berhasil menggombalinya. Hujan memaksa kami untuk tinggal sementara seusai mengaji di surau. Anehnya, aku senang karena hujan menjebak kami malam ini. Lucu memang.
Annisa. Gadis manis berkulit langsat keponakan ustadz Iqbal. Hampir setahun aku mengenalnya. Dialah anak pindahan dari Bogor yang baru saja masuk ke sekolahku awal tahun ajaran lalu. Kedekatanku dengan ustadz Igbal yang akhirnya membuat beliau menitipkan Annisa padaku. Awalnya agak canggung, apalagi karena dia adik kelas yang jaraknya 2 tahun dibawahku. Lama-lama, aku menikmati juga berteman dengannya. Malahan sekarang hubungan kami semakin dekat, tidak secanggung saat awal perkenalan.
Omong-omong soal Annisa, sebenarnya awal kedekatan kami agak aneh. Dulunya hubungan kami selayaknya target dan mata-mata. Aku Cuma layaknya mata-mata yang harus memastikan keselamatannya saja, terutama di sekolah. Setiap hari ku buntuti kemanapun dia pergi saat di sekolah. Tentunya dengan cara mengendap-endap dan mengawasi dari jauh. Aku selalu memastikan agar tidak ada yang macam-macam atau mengganggunya. Maklum, baru seminggu masuk sekolah sudah menjadi pujaan hampir semua murid laki-laki di sekolah. Banyak sekali yang ingin berkenalan dan mengambil hatinya. Hampir setiap hari Annisa selalu panen bunga mendadak di bangku kelasnya. Untungnya, Annisa tidak menanggapinya dengan serius. Dia terlalu pemalu untuk mencari tahu siapa saja yang sudah mengirimkan bunga padanya setiap hari.
Aku? Sebenarnya aku juga ingin memberikan bunga seperti yang lain. Tapi untuk apa aku memberikan bunga diam-diam kalau sebenarnya aku bisa berinteraksi dengannya secara langsung? Ah, andai saja aku berani. Andai saja aku tidak perlu lagi mengendap-endap untuk mengawasi dan memastikan keselamatannya. Andai saja!
Suatu siang saat pulang sekolah, tanpa sengaja Annisa memergokiku sedang menatapnya dari jauh. Tanpa ragu Annisa segera mendekatiku yang mulai salah tingkah.
“Kang Adi lagi ngapain disini? Kok dari tadi ngeliatin Nisa terus? Ada yang mau disampaikan?” Gadis bermata teduh itu menanyakan pertanyaan yang spontan membuatku salah tingkah.
“Em, anu, itu. Nggak ada apa-apa kok. Cuma kebetulan aja lewat.” Jawaban ngawur keluar dari mulutku.
“Kebetulan lewat? Bukannya emang ini tempat biasa nunggu angkot kalau kita mau pulang ya?”
Duar! Kalimat sangat cerdas keluar dari mulut Annisa. Rasa panikku sudah membuat aku terlihat sangat bodoh di depan Annisa. Bisa-bisanya aku tidak sadar kalau kami sedang berada di pinggir jalan tempat menunggu angkot. Ah, bodohnya aku.
“Ah, iya. Maksudnya juga ini lagi nunggu angkot. Nisa mau pulang juga?”
“Ya jelas lah Nisa mau pulang, Kang.”
“Oh, gitu. Ya udah kita bareng aja yuk pulangnya. Itu angkotnya dateng.”
Terlihat angkot nomor 07 jurusan Kampung Melayu sudah datang. Segera kami masuk karena kebetulan penumpangnya sedikit, tidak terlalu penuh.
“Kang Adi, boleh Nisa tanya sesuatu?”
“Nisa mau tanya apa?”
“Kenapa sih kang Adi lebih seneng buntutin Nisa dari pada jalan bareng sama Nisa?”
Duar! Lagi-lagi Annisa menanyakan pertanyaan yang membuat pipi serasa pedas terkena tamparan keras.
“Eh, Nisa kok nanyanya gitu?”
“Soalnya Nisa sering liat kang Adi ngebuntutin Nisa. Nisa juga tahu kalau kang Adi yang selama ini jagain Nisa. Om Iqbal juga udah pesen sih kalau ada apa-apa di sekolah suruh bilang sama kang Adi. Tapi Nisa bingung, soalnya kang Adi teh jarang keliatan di sekolah. Ternyata kang Adi malah hobi buntutin Nisa. Atuh Nisa jadi bingung sendiri malahan.”
“Terus Nisa maunya gimana? Mau dibarengin apa gimana?”
“Ya Nisa maunya biasa aja, nggak usah pake acara detektif-detektifan gitu lah. Kalau bisa ketemu seperti biasa kan jauh lebih enak. Nisa juga nggak bingung kalau perlu apa-apa di sekolah.”
“Ya udah, mulai besok nggak akan buntutin Nisa lagi deh kalau gitu.”
“Mulai besok mendingan kita berangkat sama pulang bareng aja, Kang. Biar lebih akrab juga.” Seketika Annisa melemparkan sesungging senyuman. Sungguh manis sekali. Senyuman tulus dari gadis yang cantik. Membuat hati dag dig dug tidak karuan.
Momen perjalanan pulang itulah yang akhirnya mendekatkanku dengan Annisa. Sejak kesepakatan itu, kami jadi lebih saling mengenal satu sama lain. Annisa juga tidak sungkan untuk meminta bantuanku di sekolah. Setiap hari kami berangkat dan pulang seolah bersama. Di rumah, kami rutin ikut tadarusan bersama di masjid seusai sholat maghrib sambil menunggu waktu isya datang.
Malam ini hujan turun dengan lebat. Sejak sore sebetulnya. Kebetulan sore ini ada kegiatan TPA yang membuat aku dan Annisa sudah berada di masjid sejak waktu sholat ashar. Sedari sore kami tertahan di masjid karena hujan, bahkan hingga sekarang saat jam masjid menunjukkan angka 22.08. Guyuran hujan masih menyisakan gerimis yang akhirnya membuat Annisa memutuskan untuk pulang menerobos gerimis.
“Kayaknya hujannya nggak bakal berhenti, Kang. Mendingan Nisa pulang sekarang aja deh mumpung gerimis.”
“Nisa mau pulang sekarang? Ya udah yuk dianter.”
“Eh? Nggak usah nanti ngerepotin. Rumah kita kan beda arah.”
“Ah nggak apa-apa. Biasanya kan juga pulang bareng. Lagian ini udah malem juga. Yuk.”
Kamipun segera maninggalkan surau sebelum gerimis berubah menjadi hujan.

***

Aku merebahkan tubuhku di atas kasur. Dinginnya malam ini memaksaku menarik selimut yang biasanya hanya teronggok di atas kursi di samping tempat tidurku. Masih terbayang jelas senyuman manis di wajah Annisa tadi. Senyuman yang selalu berhasil membuat jantungku dag dig dug tidak karuan. Serasa ada unta sedang Harlemshake di dadaku. Aku sendiri bingung kenapa degub jantungku tidak pernah bisa santai saat melihat senyuman Annisa.
Sekelebat senyuman lain terbayang di pikiranku. Tiba-tiba aku kembali teringat pada teman masa kecilku sewaktu masih tinggal di Padang dulu. Annisa. Gadis cantik berambut sebahu, teman bermainku semasa kecil dulu. Aku dan Annisa berpisah saat ayahku pindah kerja ke Jakarta. Mau tidak mau kami sekeluarga juga harus pindah ke Jakarta dan aku harus meninggalkan Annisa.
Sejak kami pindah, aku dan Annisa rajin berkirim surat. Setiap minggu kami selalu bertukar cerita dan berbagi kabar. Lewat surat. Selalu begitu. Kami lebih memilih berkirim surat agar tetap memiliki bukti otentik dari cerita-cerita yang selalu kami bagi. Terlihat kuno memang. Saat semua orang memakai telepon genggam ataupun internet, kami justru memilih surat berperangko. Hal itu berlangsung sejak aku lulus SD hingga sekarang.
Tak terasa sebentar lagi ujian nasional SMA. Sudah hampir habis masaku di bangku SMA. Kembali aku teringat janjiku pada Annisa tahun lalu. Saat itu kami berjanji akan meneruskan kuliah di Jogja, kota yang berjuluk Kota Pendidikan. Awalnya memang Annisa yang mengajakku kuliah di Jogja. Anehnya aku mengiyakan begitu saja ajakan Annisa. Bahkan, aku sangat bahagia saat itu. Aku merasa menjadi seorang yang sangat istimewa saat Annisa mengajakku meneruskan pendidikan bersama. Padahal sebenarnya tidak ada alasan apapun yang mengharuskan aku merasa istimewa. Mungkin hanya rasa bahagiaku saja yang berlebihan waktu itu.
“Janji ya, Bang. Pokoknya tahun depan kita ketemu di Jogja!” Kalimat itulah yang waktu itu ditulis oleh Annisa dalam suratnya. Kalimat yang membuat semangat belajarku tetap stabil, demi melanjutkan kuliah di Jogja dan bertemu Annisa.
Sejak kecil, aku dan Annisa memang bersahabat dekat. Kami tinggal dalam satu komplek rumah dinas karena ayahku dan ayah Annisa bekerja di kantor yang sama. Bang Adi, begitu cara Annisa memanggilku sejak dulu. Walaupun seumuran, Annisa tetap saja menganggap aku seperti kakaknya. Itulah kenapa dia memanggilku abang. Panggilan seorang adik kepada kakak laki-lakinya.
Belakangan setelah kami beranjak remaja, panggilan itu seakan berubah menjadi panggilan sayang. Aku sendiri merasa perasaanku kepada Annisa mulai berubah. Aku merasa Annisa sudah bukan lagi adik ataupun teman masa kecilku. Terkadang aku merasa Annisa lebih dari itu. Tapi aku sendiri tidak berani berspekulasi. Toh aku juga tidak tahu apakah yang dirasakan Annisa sama dengan yang aku rasakan.
Datangnya Annisa tidak lantas membuatku melupakan Annisa. Aku tetap rajin berkirim surat dengannya walaupun disini aku juga tetap menjaga Annisa. Aku juga tidak melupakan janjiku padanya. Janji untuk pergi ke Jogja dan melanjutkan kuliah bersamanya disana. Janji yang kami buat kurang lebih setahun yang lalu, beberapa waktu sebelum aku berkenalan dengan Annisa.
Sekarang aku bingung. Tiba-tiba aku teringat Annisa saat di dadaku serasa ada unta sedang Harlemshake gara-gara membayangkan senyum manis Annisa. Annisa dan Annisa. Kenapa harus dua-duanya datang dalam waktu yang bersamaan ke pikiranku? Aku membayangkan gadis yang memanggilku bang Adi saat aku juga memikirkan gadis yang memanggilku Kang Adi. Aku sangat ingin bertemu gadis yang memanggilku bang Adi saat aku sedang dekat dengan gadis yang memanggilku kang Adi. Bang Adi dan Kang Adi. Aku suka dipanggil bang Adi, tapi aku juga suka dipanggil kang Adi. Antara abang dan akang, aku suka kedua julukan itu. Tapi aku bingung harus pilih yang mana. Haruskah aku tanggalkan “Kang Adi” demi “Bang Adi”? atau malah sebaliknya? Entahlah. Mungkin aku sudah mengantuk karena malam sudah semakin larut. Mungkin aku lelah, aku butuh istirahat. Selamat malam.


Kamis, 24 Oktober 2013

2 Menit



Jam di tangan kanan Awan menunjukkan angka 8.17 pagi. Sudah 17 menit berada dalam ruangan, awan semakin sering melirik sosok gadis di sebelahnya. Sosok yang hanya berjarak beberapa millimeter bahkan bisa dikatakan tepat duduk di sebelah kanannya. Diam-diam diperhatikannya gerak-gerik gadis yang secara tak sadar telah mencuri perhatiannya itu. Gadis manis berkemeja hijau tua dan rok cokelat itu terus saja asik dengan handphone-nya. Tak lupa sesekali Awan melirik pula layar handphone yang sedang di pegang gadis di sebelahnya itu. Tak sengaja dilihatnya lambang twitter di layar handphone tersebut.
                “Ah, dia punya twitter rupanya”, gumam Awan dalam hati. Menit demi menit, Ia masih saja memperhatikan gadis manis di sebelahnya itu. Pikirannya mulai bergerak liar. Ia mulai berangan-angan dan menerka-nerka apa yang sebenarnya dilakukan gadis itu. Rasa penasaran mulai meggelayuti hatinya.
                Awan tidak hanya berdua dengannya. Ruang tunggu berkapasitas 25 orang itu nyaris dipenuhi wajah-wajah tegang. Wajah-wajah penuh harap yang berbalut kecemasan dengan berbagai ekspresi yang berbeda. Seorang di ujung ruangan bahkan menangis terisak, merasa nasibnya belum jelas. Entah alasan apa yang membuatnya berpikir demikian, Awan tentu saja tidak peduli. Ia terus saja asik melirik gadis di sebelahnya. Rasa penasarannya kian memuncak. Timbul keinginan untuk menyapa tapi keraguan masih bergelayut di hari Awan.
                “Siapa ya namanya? Kenalan, enggak, kenalan, enggak, kenalan, enggak…… pengen kenalan, tapi…. Kalo dia enggak mau gimana? Kalo dia ngira gue sok tau gimana? Apa jangan-jangan dia ga suka duduk sebelah gue ya makanya dia diem aja? Apa dandanan gue kelihatan norak? Atau jangan-jangan dia ga suka sama bau parfum gue, aduh mati….”
                Awan semakin bimbang dengan keinginannya. Gadis itu sangat menarik baginya, membuat rasa penasarannya semakin membuncah. Tapi lagi-lagi dia ragu dan tidak cukup berani untuk mengawali perbincangan. Di kepalanya terus saja muncul kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi nanti saat dia memulai perbincangan. Anehnya, tak satupun kemungkinan positif muncul di otaknya. Hanya bayangan-bayangan negative saja yang sedari tadi melayang-layang di pikiranya.
                Menit ke-30 sudah terlewat, Awan semakin salah tingkah. Semakin banyak kemungkinan yang menghantui hati dan pikirannya. Ia kembali menimbang-nimbang langkah yang segera akan dilakukannya. Ingatan tentang Cogito Ergo Sum tiba-tiba melintas di kepalanya. Istilah yang sering disebut-sebut dosen favoritnya semasa kuliah itu sedikit memunculkan keberanian Awan. Cogito Ergo Sum yang dalam bahasa Perancis  diartikan sebagai “saya berpikir maka saya ada” dalam konteks komunikasi diasumsikan sebagai “saya berbicara maka saya ada”, begitu yang dikatakan dosen Awan semasa kuliah dulu. Istilah tersebut membuat Awan sadar bahwa dia tidak akan pernah dianggap ada oleh gadis manis di sebelahnya jikalau dia cuma berfikir dan bergumam dalam hati. Perlu langkah yang lebih nyata untuk dianggap ada, yaitu bicara. Dan akhirnya…
                “Permisi, saya Awan”, Awan menyodorkan tangan kepada gadis itu.
                “Melvy”, gadis itu tersenyum simpul.
                “Lulusan dari mana?”
                “Saya dari Undip”
                “Oh jauh dong kalau begitu”
                “Memangnya mas lulusan mana?”
                “Saya dari Moestopo. Panggil saja Awan. Dari jurusan periklanan juga?”
                “Bukan, saya dari jurusan hukum”
                “Loh kok masuknya ke perusahaan iklan?”
                “Kemarin saya daftar untuk jadi legal staf. Awan dari jurusan periklanan? Daftar jadi apa?”
                “Iya, saya dari periklanan. Kemarin daftar jadi Account Executive. Saya pikir hanya jurusan periklanan saja yang mendaftar, ternyata bisa dari lain jurusan juga. Sebelumnya sudah pernah ke Jakarta?”
                “Alhamdulillah sudah beberapa kali”
                “Punya saudara di Jakaarta?”
                “Ada kakak saya di depok”
                “Sudah berapa lama tinggal di Jakarta untuk panggilan kerja ini?”
                “Sudah dua bulan, tapi tidak menetap”
                “Maksudnya?”
                “Selama dua bulan ini saya bolak-balik Jogja – Jakarta”
                “Jogja? Loh Melvy enggak tinggal di Semarang? Memangnya asli mana?”
                “Kebetulan di Semarang cuma kuliah saja. Saya asli Jogja”, Melvy kembali tersenyum simpul.
                “Oh… Saya kira asli Semarang. Eh maaf dari tadi saya terlalu banyak Tanya ya?”
                “Enggak apa-apa kok, senang akhirnya ada teman ngobrol. Oh iya, Awan asli Jakarta atau pendatang juga?”
                “Aku Cuma kuliah aja di Jakarta, sama kaya Melvy di Semarang. Sebenarnya aku lahir di Medan, tapi sejak kecil ikut nenek di Palembang. Jadi bisa dibilang aku Batak – Palembang, hehehe…”. Awan mengganti sapaan dirinya untuk lebih mengakrabkan.
                “Palembang sebelah mananya? Soalnya ibuku juga asli Palembang”
                “Aku dari Lubuk Linggau, enggak pas di kota Palembangnya. Wah kalau gitu ibu kamu pasti pintar bikin pempek dong?”
                “Wah agak jauh berarti dari tempat ibuku. Daerah ibuku namanya Muara Enim, tahu daerah itu? Kalau soal pempek, bikinan ibu paling top buatku, hehehe”
                “Ah iya aku tahu daerah itu, ada beberapa teman dari Muara Enim juga. Kalau gitu berarti kamu jago juga dong bikin pempek?”
                “Iya kalau ibuku sih jago banget, kalau aku jago juga tapi masalah ngabisinnya”
                “Wah, wah, harusnya kamu berguru sama ibumu, jadi kalau pas kepingin bisa bikin sendiri. Kan lama kalau harus nunggu kiriman pempek dari ibumu. Eh tapi kamu tinggal sama ibumu kan ya?”
                “Dulu sih iya waktu sebelum kuliah. Tapi tempat kuliahku kan dekat dari Semarang, jadi kalau pengen pempek tinggal pulang deh. Hemat ongkos kirim juga”
                “Wah dasar kamu ini. Enak ya kuliah dekat, kalau mau pulang tinggal pulang. Enggak kaya aku yang pulangnya dijatah setahun tiga kali”
                “Tiga kali? Kok bisa? Kapan aja biasanya kalau pulang?”
                “Kalau libur semester sama lebaran baru aku pulang. Ya kalau keseringan pulang juga berat di ongkos, maklum harus nyebrang pulau kalau pulang”
                Tiba-tiba…
                “Saudara Andrew Setiawan Nasution!”, petugas front office meneriakkan nama Awan tanda gilirannya untuk interview tiba.
                “Iya, saya disini”, jawab Awan sambil berdiri seketika.
                “Giliran Anda setelah ini, silakan bersiap”
                “Baik Bu”, Awan memungut barang-barangnya dari kursi tempat duduknya tadi.
                “Ah giliranku sebentar lagi, ngobrolnya kita lanjutin lain kali ya. Oh iya ini kartu namaku. Semoga kita sama-sama berhasil ya di interview ini. Senang bisa kenalan sama kamu. Aku duluan ya, sampe ketemu lagi”, Awan beranjak setelah memberikan kartu namanya kepada Melvy.
                Melvy masih terdiam memandang Awan yang pergi meninggalkannya menuju ruang interview. Ia masih tidak menyangka lelaki yang selama setengah jam mengacuhkannya itu ternyata cukup menyenangkan saat berbicara. Walaupun hanya dalam 2 menit obrolan, Melvy merasa obrolannya tadi cukup menyenangkan. Tadinya Melvy berfikir kalau Awan adalah penganut paham lo-lo gue-gue. Ia sempat merasa diacuhkan oleh laki-laki tinggi bertampang imut-imut itu. Melvy sempat berfikir bahwa Awan adalah lelaki metropolitan yang tidak gampang kenal dengan orang di sekitarnya. Itulah sebabnya Melvy memilih menyibukkan dirinya dengan handphone dan berbagai media social yang ada. Kesibukan dunia maya membuat Melvy melupakan sejenak segala yang ada di sekitarnya. Menyibukkan diri membuatnya tak perlu pusing-pusing memikirkan yang terjadi di sekitarnya, apalagi di ruangan yang berisi dengan wajah-wajah tegang itu.
                Melvy akhirnya menyadari bahwa Ia harus segera kembali ke duania nyata ketika akhirnya Awan menegurnya untuk berkenalan. Hal tersebut membuktikan bahwa mungkin Awan juga merasakan apa yang dirasakannya. Ada fase dimana Melvy juga menduga-duga dan berfikir macam-macam tentang Awan yang telah mendiamkannya selama setengah jam di sebelahnya.
Memang ketika pertama kali bertemu dengan seseorang, biasanya akan timbul perasaan tegang dan tidak nyaman. Ketegangan itu dipicu karena ketidaktahuan kita terhadap orang yang kita hadapi. Itu semua dikarenakan saat pertama kali bertemu, orang bertindak sebagai peneliti yang naïf, yang termotivasi untuk memprediksi maupun untuk menjelaskan apa yang terjadi dalam perjumpaan – perjumpaan awal. Hal tersebut akhirnya melahirhan ketidakpastian baik secara kognitif maupun perilaku. Ketidakpastian itulah yang akhirnya mendorong seseorang untuk melakukan tindakan untuk mendapatkan kepastian dalam dugaan. Itulah gambaran dari sebuah teori tentang pengurangan ketidakpastian atau uncertainty reduction theory. Sebuah teori yang tidak pernah dipelajari namun sekarang dialami sendiri oleh Melvy, dan ternyata cukup 2 menit saja untuk menjawab ketidakpastian tersebut.
                Tak lama setelah Melvy merenung,
                “Saudara Melvyandra Arfinna, sebentar lagi giliran Anda”, petugas mengingatkan giliran interview untuk Melvy.
                “Iya terima kasih” melvi berdiri sambil membungkukkan badan. Ia pun bergegas memasukkan handphone-nya ke dalam tas dan merapikan pakaiannya. Ia segera masuk setelah salah satu pegawai kantor tersebut mempersilakan masuk. Interview dilaluinya dengan tenang, sesekali terlintas di kepalanya tentang obrolan dua menitnya dengan Awan tadi. Singkat tapi berarti. Obrolan yang mengingatkan kita pada teori yang cukup dekat namun seringkali tidak kita sadari.
                Akhirnya interview selesai. Melvy meninggalkan ruangan dengan wajah penuh keyakinan dan optimisme. Ia pun berjalan keluar melalui koridor sampai akhirnya dia bertemu seseorang di ujung koridor tersebut. Dilihatnya Awan berdiri sambil tersenyum ke arahnya.
                “Gimana interviewnya, lancar?”
                “Alhamdulillah lancar. Kamu sendiri?”
                “Aku juga lancar kok. Eh ngopi bareng yuk, biar bisa nglanjutin obrolan. Kamu enggak buru-buru kan?”
                Melvy kaget mendengar ajakan Awan, tapi Ia juga tidak ingin melewatkan sesi obrolan bersama Awan.
                “Boleh, dimana?”
                “Aku tahu tempat yang lumayan enak. Cukup naik busway sekali dari sini. Aku yang traktir deh, gimana?”
                “Okey”
                Dan merekapun berjalan bersama menuju halte trans Jakarta sembari mengobrol ringan tentang kegiatan interview yang baru saja mereka lalui.