Jam di tangan kanan Awan menunjukkan
angka 8.17 pagi. Sudah 17 menit berada dalam ruangan, awan semakin sering
melirik sosok gadis di sebelahnya. Sosok yang hanya berjarak beberapa
millimeter bahkan bisa dikatakan tepat duduk di sebelah kanannya. Diam-diam
diperhatikannya gerak-gerik gadis yang secara tak sadar telah mencuri
perhatiannya itu. Gadis manis berkemeja hijau tua dan rok cokelat itu terus
saja asik dengan handphone-nya. Tak lupa sesekali Awan melirik pula layar
handphone yang sedang di pegang gadis di sebelahnya itu. Tak sengaja dilihatnya
lambang twitter di layar handphone tersebut.
“Ah,
dia punya twitter rupanya”, gumam Awan
dalam hati. Menit demi menit, Ia masih saja memperhatikan gadis manis di
sebelahnya itu. Pikirannya mulai bergerak liar. Ia mulai berangan-angan dan
menerka-nerka apa yang sebenarnya dilakukan gadis itu. Rasa penasaran mulai
meggelayuti hatinya.
Awan
tidak hanya berdua dengannya. Ruang tunggu berkapasitas 25 orang itu nyaris
dipenuhi wajah-wajah tegang. Wajah-wajah penuh harap yang berbalut kecemasan
dengan berbagai ekspresi yang berbeda. Seorang di ujung ruangan bahkan menangis
terisak, merasa nasibnya belum jelas. Entah alasan apa yang membuatnya berpikir
demikian, Awan tentu saja tidak peduli. Ia terus saja asik melirik gadis di
sebelahnya. Rasa penasarannya kian memuncak. Timbul keinginan untuk menyapa
tapi keraguan masih bergelayut di hari Awan.
“Siapa
ya namanya? Kenalan, enggak, kenalan, enggak, kenalan, enggak…… pengen kenalan,
tapi…. Kalo dia enggak mau gimana? Kalo dia ngira gue sok tau gimana? Apa
jangan-jangan dia ga suka duduk sebelah gue ya makanya dia diem aja? Apa
dandanan gue kelihatan norak? Atau jangan-jangan dia ga suka sama bau parfum
gue, aduh mati….”
Awan
semakin bimbang dengan keinginannya. Gadis itu sangat menarik baginya, membuat
rasa penasarannya semakin membuncah. Tapi lagi-lagi dia ragu dan tidak cukup
berani untuk mengawali perbincangan. Di kepalanya terus saja muncul
kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi nanti saat dia memulai perbincangan.
Anehnya, tak satupun kemungkinan positif muncul di otaknya. Hanya
bayangan-bayangan negative saja yang sedari tadi melayang-layang di pikiranya.
Menit
ke-30 sudah terlewat, Awan semakin salah tingkah. Semakin banyak kemungkinan
yang menghantui hati dan pikirannya. Ia kembali menimbang-nimbang langkah yang
segera akan dilakukannya. Ingatan tentang Cogito
Ergo Sum tiba-tiba melintas di kepalanya. Istilah yang sering disebut-sebut
dosen favoritnya semasa kuliah itu sedikit memunculkan keberanian Awan. Cogito Ergo Sum yang dalam bahasa
Perancis diartikan sebagai “saya
berpikir maka saya ada” dalam konteks komunikasi diasumsikan sebagai “saya
berbicara maka saya ada”, begitu yang dikatakan dosen Awan semasa kuliah dulu.
Istilah tersebut membuat Awan sadar bahwa dia tidak akan pernah dianggap ada
oleh gadis manis di sebelahnya jikalau dia cuma berfikir dan bergumam dalam
hati. Perlu langkah yang lebih nyata untuk dianggap ada, yaitu bicara. Dan
akhirnya…
“Permisi,
saya Awan”, Awan menyodorkan tangan kepada gadis itu.
“Melvy”,
gadis itu tersenyum simpul.
“Lulusan
dari mana?”
“Saya
dari Undip”
“Oh
jauh dong kalau begitu”
“Memangnya
mas lulusan mana?”
“Saya
dari Moestopo. Panggil saja Awan. Dari jurusan periklanan juga?”
“Bukan,
saya dari jurusan hukum”
“Loh
kok masuknya ke perusahaan iklan?”
“Kemarin
saya daftar untuk jadi legal staf. Awan dari jurusan periklanan? Daftar jadi
apa?”
“Iya,
saya dari periklanan. Kemarin daftar jadi Account
Executive. Saya pikir hanya jurusan periklanan saja yang mendaftar,
ternyata bisa dari lain jurusan juga. Sebelumnya sudah pernah ke Jakarta?”
“Alhamdulillah
sudah beberapa kali”
“Punya
saudara di Jakaarta?”
“Ada
kakak saya di depok”
“Sudah
berapa lama tinggal di Jakarta untuk panggilan kerja ini?”
“Sudah
dua bulan, tapi tidak menetap”
“Maksudnya?”
“Selama
dua bulan ini saya bolak-balik Jogja – Jakarta”
“Jogja?
Loh Melvy enggak tinggal di Semarang? Memangnya asli mana?”
“Kebetulan
di Semarang cuma kuliah saja. Saya asli Jogja”, Melvy kembali tersenyum simpul.
“Oh…
Saya kira asli Semarang. Eh maaf dari tadi saya terlalu banyak Tanya ya?”
“Enggak
apa-apa kok, senang akhirnya ada teman ngobrol. Oh iya, Awan asli Jakarta atau
pendatang juga?”
“Aku
Cuma kuliah aja di Jakarta, sama kaya Melvy di Semarang. Sebenarnya aku lahir
di Medan, tapi sejak kecil ikut nenek di Palembang. Jadi bisa dibilang aku
Batak – Palembang, hehehe…”. Awan mengganti sapaan dirinya untuk lebih
mengakrabkan.
“Palembang
sebelah mananya? Soalnya ibuku juga asli Palembang”
“Aku
dari Lubuk Linggau, enggak pas di kota Palembangnya. Wah kalau gitu ibu kamu
pasti pintar bikin pempek dong?”
“Wah
agak jauh berarti dari tempat ibuku. Daerah ibuku namanya Muara Enim, tahu
daerah itu? Kalau soal pempek, bikinan ibu paling top buatku, hehehe”
“Ah
iya aku tahu daerah itu, ada beberapa teman dari Muara Enim juga. Kalau gitu
berarti kamu jago juga dong bikin pempek?”
“Iya
kalau ibuku sih jago banget, kalau aku jago juga tapi masalah ngabisinnya”
“Wah,
wah, harusnya kamu berguru sama ibumu, jadi kalau pas kepingin bisa bikin
sendiri. Kan lama kalau harus nunggu kiriman pempek dari ibumu. Eh tapi kamu
tinggal sama ibumu kan ya?”
“Dulu
sih iya waktu sebelum kuliah. Tapi tempat kuliahku kan dekat dari Semarang,
jadi kalau pengen pempek tinggal pulang deh. Hemat ongkos kirim juga”
“Wah
dasar kamu ini. Enak ya kuliah dekat, kalau mau pulang tinggal pulang. Enggak
kaya aku yang pulangnya dijatah setahun tiga kali”
“Tiga
kali? Kok bisa? Kapan aja biasanya kalau pulang?”
“Kalau
libur semester sama lebaran baru aku pulang. Ya kalau keseringan pulang juga
berat di ongkos, maklum harus nyebrang pulau kalau pulang”
Tiba-tiba…
“Saudara
Andrew Setiawan Nasution!”, petugas front office meneriakkan nama Awan tanda
gilirannya untuk interview tiba.
“Iya,
saya disini”, jawab Awan sambil berdiri seketika.
“Giliran
Anda setelah ini, silakan bersiap”
“Baik
Bu”, Awan memungut barang-barangnya dari kursi tempat duduknya tadi.
“Ah
giliranku sebentar lagi, ngobrolnya kita lanjutin lain kali ya. Oh iya ini
kartu namaku. Semoga kita sama-sama berhasil ya di interview ini. Senang bisa kenalan sama kamu. Aku duluan ya, sampe
ketemu lagi”, Awan beranjak setelah memberikan kartu namanya kepada Melvy.
Melvy
masih terdiam memandang Awan yang pergi meninggalkannya menuju ruang interview.
Ia masih tidak menyangka lelaki yang selama setengah jam mengacuhkannya itu
ternyata cukup menyenangkan saat berbicara. Walaupun hanya dalam 2 menit
obrolan, Melvy merasa obrolannya tadi cukup menyenangkan. Tadinya Melvy
berfikir kalau Awan adalah penganut paham lo-lo
gue-gue. Ia sempat merasa diacuhkan oleh laki-laki tinggi bertampang
imut-imut itu. Melvy sempat berfikir bahwa Awan adalah lelaki metropolitan yang
tidak gampang kenal dengan orang di sekitarnya. Itulah sebabnya Melvy memilih
menyibukkan dirinya dengan handphone dan berbagai media social yang ada.
Kesibukan dunia maya membuat Melvy melupakan sejenak segala yang ada di
sekitarnya. Menyibukkan diri membuatnya tak perlu pusing-pusing memikirkan yang
terjadi di sekitarnya, apalagi di ruangan yang berisi dengan wajah-wajah tegang
itu.
Melvy
akhirnya menyadari bahwa Ia harus segera kembali ke duania nyata ketika akhirnya
Awan menegurnya untuk berkenalan. Hal tersebut membuktikan bahwa mungkin Awan
juga merasakan apa yang dirasakannya. Ada fase dimana Melvy juga menduga-duga
dan berfikir macam-macam tentang Awan yang telah mendiamkannya selama setengah
jam di sebelahnya.
Memang ketika pertama kali bertemu
dengan seseorang, biasanya akan timbul perasaan tegang dan tidak nyaman.
Ketegangan itu dipicu karena ketidaktahuan kita terhadap orang yang kita
hadapi. Itu semua dikarenakan saat pertama kali bertemu, orang bertindak
sebagai peneliti yang naïf, yang termotivasi untuk memprediksi maupun untuk
menjelaskan apa yang terjadi dalam perjumpaan – perjumpaan awal. Hal tersebut
akhirnya melahirhan ketidakpastian baik secara kognitif maupun perilaku.
Ketidakpastian itulah yang akhirnya mendorong seseorang untuk melakukan
tindakan untuk mendapatkan kepastian dalam dugaan. Itulah gambaran dari sebuah
teori tentang pengurangan ketidakpastian atau uncertainty reduction theory. Sebuah teori yang tidak pernah
dipelajari namun sekarang dialami sendiri oleh Melvy, dan ternyata cukup 2
menit saja untuk menjawab ketidakpastian tersebut.
Tak
lama setelah Melvy merenung,
“Saudara
Melvyandra Arfinna, sebentar lagi giliran Anda”, petugas mengingatkan giliran
interview untuk Melvy.
“Iya
terima kasih” melvi berdiri sambil membungkukkan badan. Ia pun bergegas
memasukkan handphone-nya ke dalam tas dan merapikan pakaiannya. Ia segera masuk
setelah salah satu pegawai kantor tersebut mempersilakan masuk. Interview
dilaluinya dengan tenang, sesekali terlintas di kepalanya tentang obrolan dua
menitnya dengan Awan tadi. Singkat tapi berarti. Obrolan yang mengingatkan kita
pada teori yang cukup dekat namun seringkali tidak kita sadari.
Akhirnya
interview selesai. Melvy meninggalkan
ruangan dengan wajah penuh keyakinan dan optimisme. Ia pun berjalan keluar
melalui koridor sampai akhirnya dia bertemu seseorang di ujung koridor
tersebut. Dilihatnya Awan berdiri sambil tersenyum ke arahnya.
“Gimana
interviewnya, lancar?”
“Alhamdulillah
lancar. Kamu sendiri?”
“Aku
juga lancar kok. Eh ngopi bareng yuk, biar bisa nglanjutin obrolan. Kamu enggak
buru-buru kan?”
Melvy
kaget mendengar ajakan Awan, tapi Ia juga tidak ingin melewatkan sesi obrolan
bersama Awan.
“Boleh,
dimana?”
“Aku
tahu tempat yang lumayan enak. Cukup naik busway
sekali dari sini. Aku yang traktir deh, gimana?”
“Okey”
Dan
merekapun berjalan bersama menuju halte trans Jakarta sembari mengobrol ringan
tentang kegiatan interview yang baru
saja mereka lalui.