Selasa, 04 Februari 2014

Antara Abang dan Akang

“Makasih banyak ya kang udah dianter pulang.”
“Sama-sama. Nggak baik gadis cantik pulang malem sendirian.”
“Akang mau mampir dulu?”
“Oh, makasih. Langsung pulang aja ya. Assalamualaikum.”
Tanpa banyak basa-basi, aku langsung ngeloyor pulang. Buru-buru kupalingkan badan dan pergi menjauh agar Annisa tidak memergokiku senyum bahagiaku karena sudah berhasil menggombalinya. Hujan memaksa kami untuk tinggal sementara seusai mengaji di surau. Anehnya, aku senang karena hujan menjebak kami malam ini. Lucu memang.
Annisa. Gadis manis berkulit langsat keponakan ustadz Iqbal. Hampir setahun aku mengenalnya. Dialah anak pindahan dari Bogor yang baru saja masuk ke sekolahku awal tahun ajaran lalu. Kedekatanku dengan ustadz Igbal yang akhirnya membuat beliau menitipkan Annisa padaku. Awalnya agak canggung, apalagi karena dia adik kelas yang jaraknya 2 tahun dibawahku. Lama-lama, aku menikmati juga berteman dengannya. Malahan sekarang hubungan kami semakin dekat, tidak secanggung saat awal perkenalan.
Omong-omong soal Annisa, sebenarnya awal kedekatan kami agak aneh. Dulunya hubungan kami selayaknya target dan mata-mata. Aku Cuma layaknya mata-mata yang harus memastikan keselamatannya saja, terutama di sekolah. Setiap hari ku buntuti kemanapun dia pergi saat di sekolah. Tentunya dengan cara mengendap-endap dan mengawasi dari jauh. Aku selalu memastikan agar tidak ada yang macam-macam atau mengganggunya. Maklum, baru seminggu masuk sekolah sudah menjadi pujaan hampir semua murid laki-laki di sekolah. Banyak sekali yang ingin berkenalan dan mengambil hatinya. Hampir setiap hari Annisa selalu panen bunga mendadak di bangku kelasnya. Untungnya, Annisa tidak menanggapinya dengan serius. Dia terlalu pemalu untuk mencari tahu siapa saja yang sudah mengirimkan bunga padanya setiap hari.
Aku? Sebenarnya aku juga ingin memberikan bunga seperti yang lain. Tapi untuk apa aku memberikan bunga diam-diam kalau sebenarnya aku bisa berinteraksi dengannya secara langsung? Ah, andai saja aku berani. Andai saja aku tidak perlu lagi mengendap-endap untuk mengawasi dan memastikan keselamatannya. Andai saja!
Suatu siang saat pulang sekolah, tanpa sengaja Annisa memergokiku sedang menatapnya dari jauh. Tanpa ragu Annisa segera mendekatiku yang mulai salah tingkah.
“Kang Adi lagi ngapain disini? Kok dari tadi ngeliatin Nisa terus? Ada yang mau disampaikan?” Gadis bermata teduh itu menanyakan pertanyaan yang spontan membuatku salah tingkah.
“Em, anu, itu. Nggak ada apa-apa kok. Cuma kebetulan aja lewat.” Jawaban ngawur keluar dari mulutku.
“Kebetulan lewat? Bukannya emang ini tempat biasa nunggu angkot kalau kita mau pulang ya?”
Duar! Kalimat sangat cerdas keluar dari mulut Annisa. Rasa panikku sudah membuat aku terlihat sangat bodoh di depan Annisa. Bisa-bisanya aku tidak sadar kalau kami sedang berada di pinggir jalan tempat menunggu angkot. Ah, bodohnya aku.
“Ah, iya. Maksudnya juga ini lagi nunggu angkot. Nisa mau pulang juga?”
“Ya jelas lah Nisa mau pulang, Kang.”
“Oh, gitu. Ya udah kita bareng aja yuk pulangnya. Itu angkotnya dateng.”
Terlihat angkot nomor 07 jurusan Kampung Melayu sudah datang. Segera kami masuk karena kebetulan penumpangnya sedikit, tidak terlalu penuh.
“Kang Adi, boleh Nisa tanya sesuatu?”
“Nisa mau tanya apa?”
“Kenapa sih kang Adi lebih seneng buntutin Nisa dari pada jalan bareng sama Nisa?”
Duar! Lagi-lagi Annisa menanyakan pertanyaan yang membuat pipi serasa pedas terkena tamparan keras.
“Eh, Nisa kok nanyanya gitu?”
“Soalnya Nisa sering liat kang Adi ngebuntutin Nisa. Nisa juga tahu kalau kang Adi yang selama ini jagain Nisa. Om Iqbal juga udah pesen sih kalau ada apa-apa di sekolah suruh bilang sama kang Adi. Tapi Nisa bingung, soalnya kang Adi teh jarang keliatan di sekolah. Ternyata kang Adi malah hobi buntutin Nisa. Atuh Nisa jadi bingung sendiri malahan.”
“Terus Nisa maunya gimana? Mau dibarengin apa gimana?”
“Ya Nisa maunya biasa aja, nggak usah pake acara detektif-detektifan gitu lah. Kalau bisa ketemu seperti biasa kan jauh lebih enak. Nisa juga nggak bingung kalau perlu apa-apa di sekolah.”
“Ya udah, mulai besok nggak akan buntutin Nisa lagi deh kalau gitu.”
“Mulai besok mendingan kita berangkat sama pulang bareng aja, Kang. Biar lebih akrab juga.” Seketika Annisa melemparkan sesungging senyuman. Sungguh manis sekali. Senyuman tulus dari gadis yang cantik. Membuat hati dag dig dug tidak karuan.
Momen perjalanan pulang itulah yang akhirnya mendekatkanku dengan Annisa. Sejak kesepakatan itu, kami jadi lebih saling mengenal satu sama lain. Annisa juga tidak sungkan untuk meminta bantuanku di sekolah. Setiap hari kami berangkat dan pulang seolah bersama. Di rumah, kami rutin ikut tadarusan bersama di masjid seusai sholat maghrib sambil menunggu waktu isya datang.
Malam ini hujan turun dengan lebat. Sejak sore sebetulnya. Kebetulan sore ini ada kegiatan TPA yang membuat aku dan Annisa sudah berada di masjid sejak waktu sholat ashar. Sedari sore kami tertahan di masjid karena hujan, bahkan hingga sekarang saat jam masjid menunjukkan angka 22.08. Guyuran hujan masih menyisakan gerimis yang akhirnya membuat Annisa memutuskan untuk pulang menerobos gerimis.
“Kayaknya hujannya nggak bakal berhenti, Kang. Mendingan Nisa pulang sekarang aja deh mumpung gerimis.”
“Nisa mau pulang sekarang? Ya udah yuk dianter.”
“Eh? Nggak usah nanti ngerepotin. Rumah kita kan beda arah.”
“Ah nggak apa-apa. Biasanya kan juga pulang bareng. Lagian ini udah malem juga. Yuk.”
Kamipun segera maninggalkan surau sebelum gerimis berubah menjadi hujan.

***

Aku merebahkan tubuhku di atas kasur. Dinginnya malam ini memaksaku menarik selimut yang biasanya hanya teronggok di atas kursi di samping tempat tidurku. Masih terbayang jelas senyuman manis di wajah Annisa tadi. Senyuman yang selalu berhasil membuat jantungku dag dig dug tidak karuan. Serasa ada unta sedang Harlemshake di dadaku. Aku sendiri bingung kenapa degub jantungku tidak pernah bisa santai saat melihat senyuman Annisa.
Sekelebat senyuman lain terbayang di pikiranku. Tiba-tiba aku kembali teringat pada teman masa kecilku sewaktu masih tinggal di Padang dulu. Annisa. Gadis cantik berambut sebahu, teman bermainku semasa kecil dulu. Aku dan Annisa berpisah saat ayahku pindah kerja ke Jakarta. Mau tidak mau kami sekeluarga juga harus pindah ke Jakarta dan aku harus meninggalkan Annisa.
Sejak kami pindah, aku dan Annisa rajin berkirim surat. Setiap minggu kami selalu bertukar cerita dan berbagi kabar. Lewat surat. Selalu begitu. Kami lebih memilih berkirim surat agar tetap memiliki bukti otentik dari cerita-cerita yang selalu kami bagi. Terlihat kuno memang. Saat semua orang memakai telepon genggam ataupun internet, kami justru memilih surat berperangko. Hal itu berlangsung sejak aku lulus SD hingga sekarang.
Tak terasa sebentar lagi ujian nasional SMA. Sudah hampir habis masaku di bangku SMA. Kembali aku teringat janjiku pada Annisa tahun lalu. Saat itu kami berjanji akan meneruskan kuliah di Jogja, kota yang berjuluk Kota Pendidikan. Awalnya memang Annisa yang mengajakku kuliah di Jogja. Anehnya aku mengiyakan begitu saja ajakan Annisa. Bahkan, aku sangat bahagia saat itu. Aku merasa menjadi seorang yang sangat istimewa saat Annisa mengajakku meneruskan pendidikan bersama. Padahal sebenarnya tidak ada alasan apapun yang mengharuskan aku merasa istimewa. Mungkin hanya rasa bahagiaku saja yang berlebihan waktu itu.
“Janji ya, Bang. Pokoknya tahun depan kita ketemu di Jogja!” Kalimat itulah yang waktu itu ditulis oleh Annisa dalam suratnya. Kalimat yang membuat semangat belajarku tetap stabil, demi melanjutkan kuliah di Jogja dan bertemu Annisa.
Sejak kecil, aku dan Annisa memang bersahabat dekat. Kami tinggal dalam satu komplek rumah dinas karena ayahku dan ayah Annisa bekerja di kantor yang sama. Bang Adi, begitu cara Annisa memanggilku sejak dulu. Walaupun seumuran, Annisa tetap saja menganggap aku seperti kakaknya. Itulah kenapa dia memanggilku abang. Panggilan seorang adik kepada kakak laki-lakinya.
Belakangan setelah kami beranjak remaja, panggilan itu seakan berubah menjadi panggilan sayang. Aku sendiri merasa perasaanku kepada Annisa mulai berubah. Aku merasa Annisa sudah bukan lagi adik ataupun teman masa kecilku. Terkadang aku merasa Annisa lebih dari itu. Tapi aku sendiri tidak berani berspekulasi. Toh aku juga tidak tahu apakah yang dirasakan Annisa sama dengan yang aku rasakan.
Datangnya Annisa tidak lantas membuatku melupakan Annisa. Aku tetap rajin berkirim surat dengannya walaupun disini aku juga tetap menjaga Annisa. Aku juga tidak melupakan janjiku padanya. Janji untuk pergi ke Jogja dan melanjutkan kuliah bersamanya disana. Janji yang kami buat kurang lebih setahun yang lalu, beberapa waktu sebelum aku berkenalan dengan Annisa.
Sekarang aku bingung. Tiba-tiba aku teringat Annisa saat di dadaku serasa ada unta sedang Harlemshake gara-gara membayangkan senyum manis Annisa. Annisa dan Annisa. Kenapa harus dua-duanya datang dalam waktu yang bersamaan ke pikiranku? Aku membayangkan gadis yang memanggilku bang Adi saat aku juga memikirkan gadis yang memanggilku Kang Adi. Aku sangat ingin bertemu gadis yang memanggilku bang Adi saat aku sedang dekat dengan gadis yang memanggilku kang Adi. Bang Adi dan Kang Adi. Aku suka dipanggil bang Adi, tapi aku juga suka dipanggil kang Adi. Antara abang dan akang, aku suka kedua julukan itu. Tapi aku bingung harus pilih yang mana. Haruskah aku tanggalkan “Kang Adi” demi “Bang Adi”? atau malah sebaliknya? Entahlah. Mungkin aku sudah mengantuk karena malam sudah semakin larut. Mungkin aku lelah, aku butuh istirahat. Selamat malam.