“Makasih
banyak ya kang udah dianter pulang.”
“Sama-sama.
Nggak baik gadis cantik pulang malem sendirian.”
“Akang
mau mampir dulu?”
“Oh,
makasih. Langsung pulang aja ya. Assalamualaikum.”
Tanpa
banyak basa-basi, aku langsung ngeloyor
pulang. Buru-buru kupalingkan badan dan pergi menjauh agar Annisa tidak
memergokiku senyum bahagiaku karena sudah berhasil menggombalinya. Hujan memaksa
kami untuk tinggal sementara seusai mengaji di surau. Anehnya, aku senang
karena hujan menjebak kami malam ini. Lucu memang.
Annisa.
Gadis manis berkulit langsat keponakan ustadz Iqbal. Hampir setahun aku
mengenalnya. Dialah anak pindahan dari Bogor yang baru saja masuk ke sekolahku
awal tahun ajaran lalu. Kedekatanku dengan ustadz Igbal yang akhirnya membuat
beliau menitipkan Annisa padaku. Awalnya agak canggung, apalagi karena dia adik
kelas yang jaraknya 2 tahun dibawahku. Lama-lama, aku menikmati juga berteman
dengannya. Malahan sekarang hubungan kami semakin dekat, tidak secanggung saat
awal perkenalan.
Omong-omong
soal Annisa, sebenarnya awal kedekatan kami agak aneh. Dulunya hubungan kami
selayaknya target dan mata-mata. Aku Cuma layaknya mata-mata yang harus
memastikan keselamatannya saja, terutama di sekolah. Setiap hari ku buntuti
kemanapun dia pergi saat di sekolah. Tentunya dengan cara mengendap-endap dan
mengawasi dari jauh. Aku selalu memastikan agar tidak ada yang macam-macam atau
mengganggunya. Maklum, baru seminggu masuk sekolah sudah menjadi pujaan hampir
semua murid laki-laki di sekolah. Banyak sekali yang ingin berkenalan dan
mengambil hatinya. Hampir setiap hari Annisa selalu panen bunga mendadak di
bangku kelasnya. Untungnya, Annisa tidak menanggapinya dengan serius. Dia
terlalu pemalu untuk mencari tahu siapa saja yang sudah mengirimkan bunga
padanya setiap hari.
Aku?
Sebenarnya aku juga ingin memberikan bunga seperti yang lain. Tapi untuk apa
aku memberikan bunga diam-diam kalau sebenarnya aku bisa berinteraksi dengannya
secara langsung? Ah, andai saja aku berani. Andai saja aku tidak perlu lagi
mengendap-endap untuk mengawasi dan memastikan keselamatannya. Andai saja!
Suatu
siang saat pulang sekolah, tanpa sengaja Annisa memergokiku sedang menatapnya
dari jauh. Tanpa ragu Annisa segera mendekatiku yang mulai salah tingkah.
“Kang
Adi lagi ngapain disini? Kok dari tadi ngeliatin Nisa terus? Ada yang mau
disampaikan?” Gadis bermata teduh itu menanyakan pertanyaan yang spontan
membuatku salah tingkah.
“Em,
anu, itu. Nggak ada apa-apa kok. Cuma kebetulan aja lewat.” Jawaban ngawur
keluar dari mulutku.
“Kebetulan
lewat? Bukannya emang ini tempat biasa nunggu angkot kalau kita mau pulang ya?”
Duar!
Kalimat sangat cerdas keluar dari mulut Annisa. Rasa panikku sudah membuat aku
terlihat sangat bodoh di depan Annisa. Bisa-bisanya aku tidak sadar kalau kami
sedang berada di pinggir jalan tempat menunggu angkot. Ah, bodohnya aku.
“Ah,
iya. Maksudnya juga ini lagi nunggu angkot. Nisa mau pulang juga?”
“Ya
jelas lah Nisa mau pulang, Kang.”
“Oh,
gitu. Ya udah kita bareng aja yuk pulangnya. Itu angkotnya dateng.”
Terlihat
angkot nomor 07 jurusan Kampung Melayu sudah datang. Segera kami masuk karena
kebetulan penumpangnya sedikit, tidak terlalu penuh.
“Kang
Adi, boleh Nisa tanya sesuatu?”
“Nisa
mau tanya apa?”
“Kenapa
sih kang Adi lebih seneng buntutin Nisa dari pada jalan bareng sama Nisa?”
Duar!
Lagi-lagi Annisa menanyakan pertanyaan yang membuat pipi serasa pedas terkena
tamparan keras.
“Eh,
Nisa kok nanyanya gitu?”
“Soalnya
Nisa sering liat kang Adi ngebuntutin Nisa. Nisa juga tahu kalau kang Adi yang
selama ini jagain Nisa. Om Iqbal juga udah pesen sih kalau ada apa-apa di
sekolah suruh bilang sama kang Adi. Tapi Nisa bingung, soalnya kang Adi teh
jarang keliatan di sekolah. Ternyata kang Adi malah hobi buntutin Nisa. Atuh
Nisa jadi bingung sendiri malahan.”
“Terus
Nisa maunya gimana? Mau dibarengin apa gimana?”
“Ya
Nisa maunya biasa aja, nggak usah pake acara detektif-detektifan gitu lah.
Kalau bisa ketemu seperti biasa kan jauh lebih enak. Nisa juga nggak bingung
kalau perlu apa-apa di sekolah.”
“Ya
udah, mulai besok nggak akan buntutin Nisa lagi deh kalau gitu.”
“Mulai
besok mendingan kita berangkat sama pulang bareng aja, Kang. Biar lebih akrab
juga.” Seketika Annisa melemparkan sesungging senyuman. Sungguh manis sekali.
Senyuman tulus dari gadis yang cantik. Membuat hati dag dig dug tidak karuan.
Momen
perjalanan pulang itulah yang akhirnya mendekatkanku dengan Annisa. Sejak
kesepakatan itu, kami jadi lebih saling mengenal satu sama lain. Annisa juga
tidak sungkan untuk meminta bantuanku di sekolah. Setiap hari kami berangkat
dan pulang seolah bersama. Di rumah, kami rutin ikut tadarusan bersama di
masjid seusai sholat maghrib sambil menunggu waktu isya datang.
Malam
ini hujan turun dengan lebat. Sejak sore sebetulnya. Kebetulan sore ini ada
kegiatan TPA yang membuat aku dan Annisa sudah berada di masjid sejak waktu
sholat ashar. Sedari sore kami tertahan di masjid karena hujan, bahkan hingga
sekarang saat jam masjid menunjukkan angka 22.08. Guyuran hujan masih
menyisakan gerimis yang akhirnya membuat Annisa memutuskan untuk pulang
menerobos gerimis.
“Kayaknya
hujannya nggak bakal berhenti, Kang. Mendingan Nisa pulang sekarang aja deh
mumpung gerimis.”
“Nisa
mau pulang sekarang? Ya udah yuk dianter.”
“Eh?
Nggak usah nanti ngerepotin. Rumah kita kan beda arah.”
“Ah
nggak apa-apa. Biasanya kan juga pulang bareng. Lagian ini udah malem juga.
Yuk.”
Kamipun
segera maninggalkan surau sebelum gerimis berubah menjadi hujan.
***
Aku
merebahkan tubuhku di atas kasur. Dinginnya malam ini memaksaku menarik selimut
yang biasanya hanya teronggok di atas kursi di samping tempat tidurku. Masih
terbayang jelas senyuman manis di wajah Annisa tadi. Senyuman yang selalu
berhasil membuat jantungku dag dig dug tidak karuan. Serasa ada unta sedang Harlemshake di dadaku. Aku sendiri
bingung kenapa degub jantungku tidak pernah bisa santai saat melihat senyuman
Annisa.
Sekelebat
senyuman lain terbayang di pikiranku. Tiba-tiba aku kembali teringat pada teman
masa kecilku sewaktu masih tinggal di Padang dulu. Annisa. Gadis cantik
berambut sebahu, teman bermainku semasa kecil dulu. Aku dan Annisa berpisah
saat ayahku pindah kerja ke Jakarta. Mau tidak mau kami sekeluarga juga harus
pindah ke Jakarta dan aku harus meninggalkan Annisa.
Sejak
kami pindah, aku dan Annisa rajin berkirim surat. Setiap minggu kami selalu
bertukar cerita dan berbagi kabar. Lewat surat. Selalu begitu. Kami lebih
memilih berkirim surat agar tetap memiliki bukti otentik dari cerita-cerita
yang selalu kami bagi. Terlihat kuno memang. Saat semua orang memakai telepon
genggam ataupun internet, kami justru memilih surat berperangko. Hal itu
berlangsung sejak aku lulus SD hingga sekarang.
Tak
terasa sebentar lagi ujian nasional SMA. Sudah hampir habis masaku di bangku
SMA. Kembali aku teringat janjiku pada Annisa tahun lalu. Saat itu kami
berjanji akan meneruskan kuliah di Jogja, kota yang berjuluk Kota Pendidikan.
Awalnya memang Annisa yang mengajakku kuliah di Jogja. Anehnya aku mengiyakan
begitu saja ajakan Annisa. Bahkan, aku sangat bahagia saat itu. Aku merasa
menjadi seorang yang sangat istimewa saat Annisa mengajakku meneruskan
pendidikan bersama. Padahal sebenarnya tidak ada alasan apapun yang
mengharuskan aku merasa istimewa. Mungkin hanya rasa bahagiaku saja yang
berlebihan waktu itu.
“Janji
ya, Bang. Pokoknya tahun depan kita ketemu di Jogja!” Kalimat itulah yang waktu
itu ditulis oleh Annisa dalam suratnya. Kalimat yang membuat semangat belajarku
tetap stabil, demi melanjutkan kuliah di Jogja dan bertemu Annisa.
Sejak
kecil, aku dan Annisa memang bersahabat dekat. Kami tinggal dalam satu komplek
rumah dinas karena ayahku dan ayah Annisa bekerja di kantor yang sama. Bang
Adi, begitu cara Annisa memanggilku sejak dulu. Walaupun seumuran, Annisa tetap
saja menganggap aku seperti kakaknya. Itulah kenapa dia memanggilku abang.
Panggilan seorang adik kepada kakak laki-lakinya.
Belakangan
setelah kami beranjak remaja, panggilan itu seakan berubah menjadi panggilan
sayang. Aku sendiri merasa perasaanku kepada Annisa mulai berubah. Aku merasa
Annisa sudah bukan lagi adik ataupun teman masa kecilku. Terkadang aku merasa
Annisa lebih dari itu. Tapi aku sendiri tidak berani berspekulasi. Toh aku juga
tidak tahu apakah yang dirasakan Annisa sama dengan yang aku rasakan.
Datangnya
Annisa tidak lantas membuatku melupakan Annisa. Aku tetap rajin berkirim surat
dengannya walaupun disini aku juga tetap menjaga Annisa. Aku juga tidak
melupakan janjiku padanya. Janji untuk pergi ke Jogja dan melanjutkan kuliah
bersamanya disana. Janji yang kami buat kurang lebih setahun yang lalu,
beberapa waktu sebelum aku berkenalan dengan Annisa.
Sekarang
aku bingung. Tiba-tiba aku teringat Annisa saat di dadaku serasa ada unta
sedang Harlemshake gara-gara
membayangkan senyum manis Annisa. Annisa dan Annisa. Kenapa harus dua-duanya datang
dalam waktu yang bersamaan ke pikiranku? Aku membayangkan gadis yang
memanggilku bang Adi saat aku juga memikirkan gadis yang memanggilku Kang Adi.
Aku sangat ingin bertemu gadis yang memanggilku bang Adi saat aku sedang dekat
dengan gadis yang memanggilku kang Adi. Bang Adi dan Kang Adi. Aku suka
dipanggil bang Adi, tapi aku juga suka dipanggil kang Adi. Antara abang dan
akang, aku suka kedua julukan itu. Tapi aku bingung harus pilih yang mana.
Haruskah aku tanggalkan “Kang Adi” demi “Bang Adi”? atau malah sebaliknya?
Entahlah. Mungkin aku sudah mengantuk karena malam sudah semakin larut. Mungkin
aku lelah, aku butuh istirahat. Selamat malam.
Pukpuk abang/akang
BalasHapuspuk puk kompos ._.
Hapus